Perkembangan dunia penerbangan kita memang menjanjikan dalam segi bisnis. Potensi 80 juta kursi penerbangan memang merupakan potensi yang sangat potensial. Tak heran maskapai penerbangan bersaing untuk mendapatkan posisi unggul dalam persaingan. Berbagai macam insentif ditawarkan untuk menggoda calon penumpang. Dari mulai tiket murah , pelayanan sampai memperluas tempat penjualan tiket.
Semua perangsang itu telah berhasil memancing minat penumpang untuk menggunakan jasa penerbangan . Pesawat terbang menjadi primadona jasa transportasi karena kelebihannya yang dapat menempuh jarak ribuan kilometer dalam hitungan jam. Sangat berbeda kondisinya dengan angkutan darat dan laut yang bisa memakan waktu berhari-hari untuk menempuh jarak ribuan kilometer. Dengan alasan hitungan logis dan ekonomi menjadi rujukan angkutan efisien. Kondisi ini sebenarnya yang menjadi akar masalah dunia penerbangan kini.
Demi memenangkan persaingan segala cara ditempuh. Efisiensi diterapkan disegala aspek. Bahkan dalam segi perizinan pun di buat maksimal tanpa memperhitungkan kekuatan jumlah armada, semua pesawat dianggap layak terbang dalam kondisi 100 persen, begitu ada beberapa pesawat suatu armada dalam perawatan maka masalahpun muncul. Misalnya suatu armada mempunyai 60 pesawat dan maskapai tersebut membuat rute full untuk ke 60 pesawatnya maka dapat menjadi masalah. Seharusnya di membuat rute maksimal 54 pesawat saja dengan 6 pesawat sebagai armada cadangan. Jika maskapai ini tetap memasukan 60 pesawat kedalam rencana menerbangi rutenya jika tiba-tiba ada beberapa pesawat mengalami perawatan maka bisa menjadi malapetaka. Kita ambil ilustrasi jika penumpang yang kecewa tersebut sebanyak 1.000 orang dari seribu orang tersebut mengungkapkan kekecewaannya kepafa 20 orang, maka akan ada 20.000 orang yang bakal meragukan maskapai tersebut dan jika dari 20.000 orang tersebut menceritakan kepada 10 orang maka akan ada 200.000 orang lagi yang ragu memakai maskapai tersebut. Maka berapa kerugian maskapi tersebut?
Dari segi penumpang berapa banyak kerugian yang dialami penumpang karena ditelantarkan. Rugi waktu, uang untuk membeli makanan selama menunggu karena kita tahu harga makanan selangit di bandara. Belum lagi berapa pulsa telepon habis untuk mencari informasi jadwal terbang. Kalau saya mengibaratkan maskapai yang tidak bertanggung jawab menelantarkan penumpang tanpa memberi kompensasi sebagai manajemen maskapai sebagai manajemen becak yang tidak profesional yang hanya pemberi harapan palsu (PHP). Manajemen seperti ini biasanya tidak diisi orang-orang profesional dan hanya pandai mencari becking pejabat.
Kementerian Perhubungan yang menjadi pengawas / controling dinilai gagal. Penentuan rute ini di kementerian perlu diselidiki karena dicurigai sarat pungli. Karena tanpa ada perhitungan yang jelas karena seharusnya jelas ada SOP serta pengawasannya tentunya, dilapangan ada oknum yang jelas-jelas ada tulisan tidak ada pungli masih berani meminta pungli, luar biasa .
Bagi kita calon penumpang juga harus bisa bijak mencari maskapai yang bisa dipercaya yang tidak akan mengecewakan kita. Karena belum tentu pihak maskapai dan pejabat terkait peduli dengan kenyamanan kitra, karena mereka hanya peduli urusannya sendiri. Waspadalah