LINTASIANA

↑ ,

Demokrasi Di Simpang Jalan

Kala DPR mengesahkan RUU Pilkada menjadi UU Pilkada sebenarnya telah terjadi sebuah babak baru dalam demokrasi kita. Pengesahan RUU Pilkada menjadi UU Pilkada di sahkan oleh DPR melalui voting yang dalam UU berisi tentang tata cara Pilkada melalui DPRD bukan secara langsung seperti saat ini. Seyogyanya ini adalah pertarungan Koalisi Merah Putih (KMP) yang pro Pilkada tidak secara langsung dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang pro Pilkada langsung.

Akibatnya DPR pun terbagi menjadi 2 kelompok yaitu KMP yang terdiri dari partai-partai Gerindra, Golkar, PPP, PKS, PAN , PBB dan Demokrat dengan KIH terdiri dari PDIP, Hanura, Nasdem, PKB, PKPI. Hasilnya RUU Pilkada disahkan setelah sempat terjadi walk out Demokrat yang awalnya mendukung KIH dengan 10 syarat tetapi karena syarat yang diajukan tidak disetujui maka Demokrat mendukung KMP. Otomatis dengan pengesahan UUD Pilkada ini maka kepala Daerah dipilih oleh DPRD. Banyak kepala Daerah yang menolak UU ini karena dikhawatirkan akan melemahkan demokrasi.

Memang disadari atau tidak UU ini mengurangi makna demokrasi yang seyogyanya yang memilih pemimpinnya adalah rakyat. Namun mekanisme yang berlaku adalah pilkada biaya tinggi yang mwmicu pemimpin korup. Ratusan kepala daerah terjerat kasus hukum dan mahalnya pembiayaan demokrasi langsung menjadi alasan Pilkada dipilih oleh DPRD. Lihatlah mahalnya biaya menjadi kepala daerah hingga menghabiskan milyaran rupiah, logikanya akan muncul pertanyaan dari mana dana kampanye tersebut kembali? Jawabannya ya dari korupsi ya minimal dia akan menyalah gunakan wewenang misalnya menunjuk pelaksana proyek perusahaan dia, keluarganya atau kroni-kroninya sehingga dapat bagian tentunya. Walhasil dibuat seperti berdagang setelah tanam modal maka harus cari untung dong. Maka jangan heran jika kualitas proyek di daerah rendah bahkan terkadang dibuat proyek fiktif.

Sekarang ini memang benar-benar DPR sedang dipersimpang jalan. Partai penguasa seperti kekurangan taji akibat kurangnya dukungan kursi diparlemen. Kalau begini bagaimana kita berharap menagih janji kampanyenya sedangkan mengurus suara intern di DPR saja empot-empotan? Kita rakyat jelata hanya dapat berharap para legislator dibukakan lebar pintu mengabdi pada rakyat bukan hanya janji tinggal janji.

0 komentar:

Posting Komentar